Thursday, August 11, 2016


Baru beberapa hari tiba di Chiang Rai, salah satu kota bersuhu dingin yang terletak di daerah pegunungan di sebelah Utara Thailand yang berbatasan dengan Laos dan Myanmar, salah seorang teman di Muslim Club kampus Mae Fah Luang mengajak kami untuk ikut pergi ke Walking Street bersama rombongan teman-teman Muslim Thailand lainnya. Awalnya saya bingung apa itu walking street, namun setelah tiba di tujuan, saya baru tahu bahwa walking street ini adalah istilah lain untuk ‘Saturday Market’, pasar yang dibuka dari sejak jam 5 sore sampai 11 malam setiap hari Sabtu. Walking street di Chiang Rai ini terletak di pusat kota, tidak jauh dari bus station dan pasar permanennya.

Suasana Wednesday Market di halaman Sport Center MFU
Ada beberapa pasar dadakan atau harian di Chiang Rai Thailand selain Saturday Market, antara lain Monday Market yang berlokasi di luar area kampus Mae Fah Luang, Wednesday Market yang diadakan di dalam area Sport Center kampus Mae Fah Luang, dan Night Bazar yang dibuka setiap harinya dari pukul 6 sore sampai 11 malam di pusat kota Chiang Rai. Di antara beberapa pasar dadakan itu, Saturday Market yang paling besar, murah, dan lengkap plus bervariasi barang dagangannya. Selain itu juga di Saturday Market ini, para pengunjung tidak hanya bisa berbelanja namun juga bisa menikmati pertunjukan seni oleh musisi lokal di sini. Mungkin karena letaknya yang di pusat kota hingga hampir semua masyarakat Chiang Rai mampu menjangkaunya, beragam profesi dan usia masyarakat ikut berkunjung ke sana tak peduli sampai di sana mereka akan berdesak-desakan karena ramainya pengunjung.

Berbeda dengan Wednesday Market misalnya, karena diadakan di dalam area kampus, maka pembeli yang datang berkunjung ke sana hampir 90% adalah mahasiswa. Begitu juga dengan Monday Market, pasar ini yang paling kecil ukurannya jika dibandingkan dengan Wednesday dan Saturday Market. Walaupun terletak di luar area kampus, namun yang datang ke pasar ini pun kebanyakan mahasiswa. Produk yang dijajakan di berbagai pasar dadakan di Thailand ini pun bervariasi. Mulai dari segala jajanan makanan khas Thailand yang enak tapi murah meriah, jajanan Jepang, souvenir, aksesoris, tas, sepatu (baru dan second), pakaian (baru dan second), sampai pernak-pernik Handphone. Sangat bervariasi. Harga yang ditawarkan di pasar-pasar ini pun tentunya sangat terjangkau, kaos kaki misalnya, ada yang dijual hanya dengan harga 10 baht atau sekitar 4000 rupiah saja. Baju-baju second dijual dengan harga 50 baht setara dengan 20000 rupiah, dan sebagainya. Tidak heran jika banyak mahasiswa yang datang ke sana walaupun pasar ini rutin diadakan setiap minggunya.

Pakaian yang dijual hanya dengan harga 50 baht

Pasar-pasar harian di Thailand ini tidak pernah sepi pengunjung. Para pedagangnya tampak tidak pernah menyerah sekalipun berjualan di sana terlihat melelahkan, karena hanya dibuka beberapa jam saja. Lelah, karena mereka harus membongkar pasang tenda atau meja, dan mengatur plus membereskan kembali barang dagangan untuk dibawa pulang setiap minggunya. Sekilas, sangat tidak senyaman berjualan di dalam toko sendiri. Mungkin ini dikarenakan antusias pengunjung atau warga Thailand yang tidak pernah pudar untuk ke sana.
Pasar-pasar di Thailand ini salah satu cara pemerintah untuk menunjang sisi pariwisata di sana. Bagaimana tidak? Dengan harga murah yang ditawarkan, tentu saja tidak hanya warga Thailand asli yang mau berkunjung ke sana, para wisatawan pun akan tertarik, minimal untuk melihat salah satu keunikan ataupun berbelanja oleh-oleh khas Thailand untuk dibawa pulang. Dari segi perekonomian, jelas saja pasar-pasar dadakan ini sangat menunjang pendapatan dan ekonomi warga Thailand. Semuanya bisa berjualan di sana, baik itu mereka yang aslinya punya toko ataupun tidak. Bermodal bisa memasak misalnya, maka dengan mudah mereka bisa membuka lapak di sana. Saya dan teman-teman Indonesia pun pernah berniat ingin ikut mencoba berjualan di sana, jualan makanan atau jajanan khas Indonesia, tapi salah satu teman yang bisa berbahasa Thailand agak ragu dengan ‘izin berjualan’ karena kami bukan warga Thailand. Saya belum tahu apakah hanya warga Thailand asli yang boleh berjualan atau yang bukan warga Thailand pun boleh. Atau apakah jika kita bukan warga Thailand tapi bisa berbahasa Thailand maka bisa ikut membuka lapak di pasar itu. 

Takoyaki, salah satu jajanan paling laris di sini.
Pasar-pasar harian ini tentunya sangat menunjang sisi pariwisata dan perekonomian warga Thailand. Semuanya bisa berdagang. Semuanya bisa memperbaiki kehidupan dengan tambahan penghasilan. Semuanya bisa berkreasi membuat makanan atau barang-barang unik lalu dijajakan. Indonesia harus mulai serius memikirkan cara ini, memberi kebebasan dan membuka lapangan bisnis yang mudah dan terjangkau untuk tiap rakyatnya. Agar semua rakyat bisa hidup sejahtera. Walaupun mungkin di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Aceh sudah ada yang mengadakan weekend market seperti ini, misalnya saja pameran/pasar/pekan yang diadakan di hari Jumat di daerah Seruway di Aceh Tamiang, konsep pasar yang sama, dengan kios-kios atau lapak-lapak kecil, hanya saja, setahu saya pekan di sana belum sangat rutin diadakan seminggu sekali. Dan mungkin ada daerah lainnya juga yang punya pasar dadakan dengan konsep yang sama seperti di Thailand. Rakyat Indonesia saya rasa harus mulai serius berdagang, tidak hanya untuk menambah penghasilan keluarga namun bisa juga menjadi salah satu penunjang pariwisata yang bisa memancing wisatawan untuk berkunjung ke sana. Bukankah kata Rasulullah, 9 dari 10 pintu rezeki itu ada di perdagangan? 


*Alhamdulillah. Tulisan ini dimuat di Majalah Warta Unsyiah, Desember 2015
8/11/2016 01:01:00 AM Desi YuLiana

Baru beberapa hari tiba di Chiang Rai, salah satu kota bersuhu dingin yang terletak di daerah pegunungan di sebelah Utara Thailand yang berbatasan dengan Laos dan Myanmar, salah seorang teman di Muslim Club kampus Mae Fah Luang mengajak kami untuk ikut pergi ke Walking Street bersama rombongan teman-teman Muslim Thailand lainnya. Awalnya saya bingung apa itu walking street, namun setelah tiba di tujuan, saya baru tahu bahwa walking street ini adalah istilah lain untuk ‘Saturday Market’, pasar yang dibuka dari sejak jam 5 sore sampai 11 malam setiap hari Sabtu. Walking street di Chiang Rai ini terletak di pusat kota, tidak jauh dari bus station dan pasar permanennya.

Suasana Wednesday Market di halaman Sport Center MFU
Ada beberapa pasar dadakan atau harian di Chiang Rai Thailand selain Saturday Market, antara lain Monday Market yang berlokasi di luar area kampus Mae Fah Luang, Wednesday Market yang diadakan di dalam area Sport Center kampus Mae Fah Luang, dan Night Bazar yang dibuka setiap harinya dari pukul 6 sore sampai 11 malam di pusat kota Chiang Rai. Di antara beberapa pasar dadakan itu, Saturday Market yang paling besar, murah, dan lengkap plus bervariasi barang dagangannya. Selain itu juga di Saturday Market ini, para pengunjung tidak hanya bisa berbelanja namun juga bisa menikmati pertunjukan seni oleh musisi lokal di sini. Mungkin karena letaknya yang di pusat kota hingga hampir semua masyarakat Chiang Rai mampu menjangkaunya, beragam profesi dan usia masyarakat ikut berkunjung ke sana tak peduli sampai di sana mereka akan berdesak-desakan karena ramainya pengunjung.

Berbeda dengan Wednesday Market misalnya, karena diadakan di dalam area kampus, maka pembeli yang datang berkunjung ke sana hampir 90% adalah mahasiswa. Begitu juga dengan Monday Market, pasar ini yang paling kecil ukurannya jika dibandingkan dengan Wednesday dan Saturday Market. Walaupun terletak di luar area kampus, namun yang datang ke pasar ini pun kebanyakan mahasiswa. Produk yang dijajakan di berbagai pasar dadakan di Thailand ini pun bervariasi. Mulai dari segala jajanan makanan khas Thailand yang enak tapi murah meriah, jajanan Jepang, souvenir, aksesoris, tas, sepatu (baru dan second), pakaian (baru dan second), sampai pernak-pernik Handphone. Sangat bervariasi. Harga yang ditawarkan di pasar-pasar ini pun tentunya sangat terjangkau, kaos kaki misalnya, ada yang dijual hanya dengan harga 10 baht atau sekitar 4000 rupiah saja. Baju-baju second dijual dengan harga 50 baht setara dengan 20000 rupiah, dan sebagainya. Tidak heran jika banyak mahasiswa yang datang ke sana walaupun pasar ini rutin diadakan setiap minggunya.

Pakaian yang dijual hanya dengan harga 50 baht

Pasar-pasar harian di Thailand ini tidak pernah sepi pengunjung. Para pedagangnya tampak tidak pernah menyerah sekalipun berjualan di sana terlihat melelahkan, karena hanya dibuka beberapa jam saja. Lelah, karena mereka harus membongkar pasang tenda atau meja, dan mengatur plus membereskan kembali barang dagangan untuk dibawa pulang setiap minggunya. Sekilas, sangat tidak senyaman berjualan di dalam toko sendiri. Mungkin ini dikarenakan antusias pengunjung atau warga Thailand yang tidak pernah pudar untuk ke sana.
Pasar-pasar di Thailand ini salah satu cara pemerintah untuk menunjang sisi pariwisata di sana. Bagaimana tidak? Dengan harga murah yang ditawarkan, tentu saja tidak hanya warga Thailand asli yang mau berkunjung ke sana, para wisatawan pun akan tertarik, minimal untuk melihat salah satu keunikan ataupun berbelanja oleh-oleh khas Thailand untuk dibawa pulang. Dari segi perekonomian, jelas saja pasar-pasar dadakan ini sangat menunjang pendapatan dan ekonomi warga Thailand. Semuanya bisa berjualan di sana, baik itu mereka yang aslinya punya toko ataupun tidak. Bermodal bisa memasak misalnya, maka dengan mudah mereka bisa membuka lapak di sana. Saya dan teman-teman Indonesia pun pernah berniat ingin ikut mencoba berjualan di sana, jualan makanan atau jajanan khas Indonesia, tapi salah satu teman yang bisa berbahasa Thailand agak ragu dengan ‘izin berjualan’ karena kami bukan warga Thailand. Saya belum tahu apakah hanya warga Thailand asli yang boleh berjualan atau yang bukan warga Thailand pun boleh. Atau apakah jika kita bukan warga Thailand tapi bisa berbahasa Thailand maka bisa ikut membuka lapak di pasar itu. 

Takoyaki, salah satu jajanan paling laris di sini.
Pasar-pasar harian ini tentunya sangat menunjang sisi pariwisata dan perekonomian warga Thailand. Semuanya bisa berdagang. Semuanya bisa memperbaiki kehidupan dengan tambahan penghasilan. Semuanya bisa berkreasi membuat makanan atau barang-barang unik lalu dijajakan. Indonesia harus mulai serius memikirkan cara ini, memberi kebebasan dan membuka lapangan bisnis yang mudah dan terjangkau untuk tiap rakyatnya. Agar semua rakyat bisa hidup sejahtera. Walaupun mungkin di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Aceh sudah ada yang mengadakan weekend market seperti ini, misalnya saja pameran/pasar/pekan yang diadakan di hari Jumat di daerah Seruway di Aceh Tamiang, konsep pasar yang sama, dengan kios-kios atau lapak-lapak kecil, hanya saja, setahu saya pekan di sana belum sangat rutin diadakan seminggu sekali. Dan mungkin ada daerah lainnya juga yang punya pasar dadakan dengan konsep yang sama seperti di Thailand. Rakyat Indonesia saya rasa harus mulai serius berdagang, tidak hanya untuk menambah penghasilan keluarga namun bisa juga menjadi salah satu penunjang pariwisata yang bisa memancing wisatawan untuk berkunjung ke sana. Bukankah kata Rasulullah, 9 dari 10 pintu rezeki itu ada di perdagangan? 


*Alhamdulillah. Tulisan ini dimuat di Majalah Warta Unsyiah, Desember 2015

Sunday, March 8, 2015

Saat masih di Indonesia, saya sering melihat buku ini terutama saat sedang belanja di toko buku online langganan saya. Cover yang unik! Itu kesan pertama saya saat melihat covernya, karena dari dulu saya memang suka gambar-gambar kartun klasik dan simple seperti itu. Dari sebuah cover, saya bisa judge bahwa novel ini pasti punya cerita yang bagus. Beberapa kali saya mengklik ‘add to cart’ tapi beberapa kali juga akhirnya saya mendelete nya saat mau checkout buku belanjaan. Aneh kan ya. Satu sisi tertarik. Sisi lainnya bilang nanti saja. –“

Well, singkat cerita, saat tiba di perantauan, entah kenapa mulai banyak muncul postingan teman-teman tentang buku ini. Kesan positif banyak terumbar. Ceritanya ringan, gampang diikuti, haru, dan sarat pesan yang bermakna. Alhasil saya semakin penasaran dan menyesali keputusan tidak membawa pulang novel ringan itu. Sekarang saya di sini, bagaimana caranya saya bisa punya buku itu? Rasa penasaran membahana, mengganggu pikiran beberapa lama. Sampai pernah terpikir minta dikirimkan dari Indonesia. Hadeuuuuh.. Rempong cyiiiin.

Di tengah kegalauan yang tiada berakhir itu.. (ini berlebihan), saat sedang berada di dalam songthew atau labi-labi ala Thailand menuju ke Central Plaza di pusat kota Chiang Rai, saya yang sedang memangku Faris yang tertidur mengintip aktivitas suami di tablet kami. Ternyata beliau sedang baca buku. Suatu hal yang jarang dilakukannya dulu. Alhamdulillah, senang rasanya lihat suami mulai suka baca buku lagi (jadi curhat). Tiba-tiba beliau memperlihatkan buku yang dibelinya di play store itu. Sedikit menceritakan isinya. Dan tiba-tiba lagi saya teringat akan kegalauan pada sebuah buku. Maka hanya dengan sekali bilang;

“Bang, Eci pengen baca buku Sabtu Bersama Bapak, katanya bagus ceritanya, penasaran.”
( … )
Menanti respon. Berharap tingkat kecepatan maksimal songthew.
( … )
Melirik ke sebelah, yang bersangkutan masih buka-buka play store.
( … )
Harapan sirna.

Tiba-tiba.

“Apa tadi judulnya?”
Horeeeee!!! \(^^)/
“Sabtu Bersama Bapak bang.”
Yang bersangkutan mengklik kolom search dan menuliskan judul yang diminta sang istri.
“Yang ini?” menunjukkan sebuah cover buku.
“Iya..” deg degan. Dibeliin gak yaaa..
“Mau baca kan?”
“Iya!” semangat tingkat Faris dapat ngeng-ngeng baru.
“Oke.”
Alhamdulillah..

Begitulah cerita singkat--tapi jadi panjang saat saya ceritakan di sini—bagaimana akhirnya saya bisa ikut bersama dalam alur cerita sederhana itu. Antara senang dan sedih. Senang karena akhirnya punya bukunya. Sedih karena gak punya buku ‘real’, tapi hanya punya e-booknya. Ini seperti apa yang selalu suami nasihatkan. Sabar dan syukur. Sabar karena gak punya buku real nya. Syukur karena ya punya bukunya walaupun gak dalam bentuk nyata. #apasihini –“

Baiklah.. sebenarnya postingan ini niatnya ingin mereview sedikit tentang buku Sabtu Bersama Bapak dan merangkum sedikit beberapa pesan dan nasihat yang mengena bagi diri saya sendiri. Tapi kenapa jadi kepanjangan curhatnya ya? Hehehe. Maafkan saya saudara-saudara.

***

Sabtu Bersama Bapak.

Ini cerita tentang seorang bapak, tentang seorang ibu, tentang anak-anak, tentang suami dan istri, dan tentang kehidupan.

Ini cerita tentang bagaimana seorang bapak membesarkan anak-anaknya dengan baik sekalipun raganya tidak bersama mereka.

Ini cerita tentang seorang suami yang meninggalkan istrinya tidak dengan tangan kosong tapi penuh dengan persiapan agar sang istri bisa melanjutkan kehidupan dengan baik walaupun tanpa kehadirannya.

Ini cerita tentang seorang istri dan ibu yang tetap bertahan walaupun hidup tanpa seorang pasangan.

Ini cerita tentang anak-anak yang dibesarkan dengan jiwa-jiwa laksmana, dengan pesan-pesan berharga, hingga mereka tumbuh dan berkembang baik menjadi seorang manusia.

Ini cerita tentang kehidupan yang sederhana, ringan untuk dibaca, tapi meninggalkan kesan yang sangat mengena. Ini novel yang sangat direkomendasikan untuk dibaca, baik bagi anak-anak dan orang tua.

Sekian review dari saya.

***

Selanjutnya beberapa pesan dalam cerita yang tetap ingin saya ingat. Ingin saya praktekkan. Saya abadikan di sini agar suatu saat tiba-tiba saya membutuhkannya, saya bisa dengan mudah menemukannya.

Page 50:
Orang tua selalu ingin memberikan contoh kesuksesannya. Kebanyakan, malu untuk memberikan contoh kegagalan sendiri. Dan mereka terdiam membiarkan anak-anaknya terperangkap di kesalahan yang sama.

Page 51:
Attitude baik kalian tidak akan terlihat oleh perusahaan karena mereka sudah akan membuang lamaran kerja kalian jika prestasi buruk. Prestasi akademis bukan segalanya. Tapi memang membukakan lebih banyak pintu, untuk memperlihatkan kualitas kita yang lain.

Page 60:
Ketika orang dewasa mendapatkan atasan yang buruk, mereka akan selalu punya pilihan untuk cari kerja lain. Atau paling buruk, resign dan menganggur. Intinya, selalu ada pilihan untuk tidak berurusan dengan orang buruk. Anak? Mereka tidak pernah minta dilahirkan oleh orang tua buruk. Dan ketika mereka mendapatkan orang tua yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya.

Page 80:
Meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang terlihat bodoh dan arogan.

Page 86:
Ada orang yang merugikan orang lain.
Ada orang yang merugikan keluarga yang menyayangi mereka.
Ada orang yang hanya merugikan diri sendiri.
Ada orang yang berguna untuk diri sendiri.
Ada orang yang berhasil menjadi berguna untuk keluarganya.
Terakhir adalah orang-orang yang berguna bagi orang lain.

Page 104:
Seorang anak, tidak wajib menjadi baik atau pintar hanya karena dia anak sulung. Nanti yang sulung benci sama takdirnya dan si bungsu tidak belajar tanggung jawab dengan cara yang sama. Semua anak wajib menjadi baik dan pintar karena memang itu yang sebaiknya semua manusia lakukan.

Page 106:
Menjadi panutan bukan tugas anak sulung—kepada adik-adiknya.
Menjadi panutan adalah tugas orang tua—untuk semua anak.

Page 119:
Harga diri kita tidak datang dari barang yang kita pakai. Tidak datang dari barang yang kita punya. Nilai kita datang dari sini, dari hati. Harga dari diri kita datang dari akhlak kita.

Page 130:
Berapa kali kamu jatuh itu gak penting. Yang penting berapa kali kamu bangkit lagi.

Page 150:
Beberapa orang dapat mengubah dunia dengan mimpi mereka. Mereka mengkristalisasi mimpi itu dengan rencana. Rencana itu mereka eksekusi dengan kerja keras. Ketika mereka gagal, mereka coba cara lain. Sementara beberapa lainnya tidak pernah menuangkan mimpinya dalam bentuk rencana. Apalagi bekerja untuk mewujudkan rencana itu.

Page 217
Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.

Find someone complimentary, not supplementary.” – Oprah Winfrey

Page 255:
Beberapa orang merasa berharga jika mereka bekerja di kantor. Beberapa orang merasa berharga jika mereka memastikan diri berada di rumah dan menjamin rumah tangga beres. Gak peduli mau kerja di kantor atau di rumah. Yang penting itu, suami dan istri menjadi pilar ekonomi untuk anak-anak. Yang penting itu, kalau salah satu dari pasangan pergi—yang ditinggalkan masih bisa mandiri. Yang penting itu, bagaimanapun kita bekerja, anak-anak tidak kekurangan perhatian orang tua. Yang penting itu, kemana pun, bagaimana pun orang cari nafkah, pasangannya ada di samping. Menambah yang kurang. Menjaga yang berharga.

***

By the way, yang terakhir itu salah satu yang bikin saya akhirnya semangat lagi walaupun hanya berdiam diri di rumah. Menjamin rumah tangga beres, Faris tumbuh dengan baik, dan tetap mencari tambahan penghasilan dengan bisnis online (walaupun bisnis online nya sekarang sedang sepi karena sempat vakum selama dua bulan lalu).


3/08/2015 01:14:00 AM Desi YuLiana
Saat masih di Indonesia, saya sering melihat buku ini terutama saat sedang belanja di toko buku online langganan saya. Cover yang unik! Itu kesan pertama saya saat melihat covernya, karena dari dulu saya memang suka gambar-gambar kartun klasik dan simple seperti itu. Dari sebuah cover, saya bisa judge bahwa novel ini pasti punya cerita yang bagus. Beberapa kali saya mengklik ‘add to cart’ tapi beberapa kali juga akhirnya saya mendelete nya saat mau checkout buku belanjaan. Aneh kan ya. Satu sisi tertarik. Sisi lainnya bilang nanti saja. –“

Well, singkat cerita, saat tiba di perantauan, entah kenapa mulai banyak muncul postingan teman-teman tentang buku ini. Kesan positif banyak terumbar. Ceritanya ringan, gampang diikuti, haru, dan sarat pesan yang bermakna. Alhasil saya semakin penasaran dan menyesali keputusan tidak membawa pulang novel ringan itu. Sekarang saya di sini, bagaimana caranya saya bisa punya buku itu? Rasa penasaran membahana, mengganggu pikiran beberapa lama. Sampai pernah terpikir minta dikirimkan dari Indonesia. Hadeuuuuh.. Rempong cyiiiin.

Di tengah kegalauan yang tiada berakhir itu.. (ini berlebihan), saat sedang berada di dalam songthew atau labi-labi ala Thailand menuju ke Central Plaza di pusat kota Chiang Rai, saya yang sedang memangku Faris yang tertidur mengintip aktivitas suami di tablet kami. Ternyata beliau sedang baca buku. Suatu hal yang jarang dilakukannya dulu. Alhamdulillah, senang rasanya lihat suami mulai suka baca buku lagi (jadi curhat). Tiba-tiba beliau memperlihatkan buku yang dibelinya di play store itu. Sedikit menceritakan isinya. Dan tiba-tiba lagi saya teringat akan kegalauan pada sebuah buku. Maka hanya dengan sekali bilang;

“Bang, Eci pengen baca buku Sabtu Bersama Bapak, katanya bagus ceritanya, penasaran.”
( … )
Menanti respon. Berharap tingkat kecepatan maksimal songthew.
( … )
Melirik ke sebelah, yang bersangkutan masih buka-buka play store.
( … )
Harapan sirna.

Tiba-tiba.

“Apa tadi judulnya?”
Horeeeee!!! \(^^)/
“Sabtu Bersama Bapak bang.”
Yang bersangkutan mengklik kolom search dan menuliskan judul yang diminta sang istri.
“Yang ini?” menunjukkan sebuah cover buku.
“Iya..” deg degan. Dibeliin gak yaaa..
“Mau baca kan?”
“Iya!” semangat tingkat Faris dapat ngeng-ngeng baru.
“Oke.”
Alhamdulillah..

Begitulah cerita singkat--tapi jadi panjang saat saya ceritakan di sini—bagaimana akhirnya saya bisa ikut bersama dalam alur cerita sederhana itu. Antara senang dan sedih. Senang karena akhirnya punya bukunya. Sedih karena gak punya buku ‘real’, tapi hanya punya e-booknya. Ini seperti apa yang selalu suami nasihatkan. Sabar dan syukur. Sabar karena gak punya buku real nya. Syukur karena ya punya bukunya walaupun gak dalam bentuk nyata. #apasihini –“

Baiklah.. sebenarnya postingan ini niatnya ingin mereview sedikit tentang buku Sabtu Bersama Bapak dan merangkum sedikit beberapa pesan dan nasihat yang mengena bagi diri saya sendiri. Tapi kenapa jadi kepanjangan curhatnya ya? Hehehe. Maafkan saya saudara-saudara.

***

Sabtu Bersama Bapak.

Ini cerita tentang seorang bapak, tentang seorang ibu, tentang anak-anak, tentang suami dan istri, dan tentang kehidupan.

Ini cerita tentang bagaimana seorang bapak membesarkan anak-anaknya dengan baik sekalipun raganya tidak bersama mereka.

Ini cerita tentang seorang suami yang meninggalkan istrinya tidak dengan tangan kosong tapi penuh dengan persiapan agar sang istri bisa melanjutkan kehidupan dengan baik walaupun tanpa kehadirannya.

Ini cerita tentang seorang istri dan ibu yang tetap bertahan walaupun hidup tanpa seorang pasangan.

Ini cerita tentang anak-anak yang dibesarkan dengan jiwa-jiwa laksmana, dengan pesan-pesan berharga, hingga mereka tumbuh dan berkembang baik menjadi seorang manusia.

Ini cerita tentang kehidupan yang sederhana, ringan untuk dibaca, tapi meninggalkan kesan yang sangat mengena. Ini novel yang sangat direkomendasikan untuk dibaca, baik bagi anak-anak dan orang tua.

Sekian review dari saya.

***

Selanjutnya beberapa pesan dalam cerita yang tetap ingin saya ingat. Ingin saya praktekkan. Saya abadikan di sini agar suatu saat tiba-tiba saya membutuhkannya, saya bisa dengan mudah menemukannya.

Page 50:
Orang tua selalu ingin memberikan contoh kesuksesannya. Kebanyakan, malu untuk memberikan contoh kegagalan sendiri. Dan mereka terdiam membiarkan anak-anaknya terperangkap di kesalahan yang sama.

Page 51:
Attitude baik kalian tidak akan terlihat oleh perusahaan karena mereka sudah akan membuang lamaran kerja kalian jika prestasi buruk. Prestasi akademis bukan segalanya. Tapi memang membukakan lebih banyak pintu, untuk memperlihatkan kualitas kita yang lain.

Page 60:
Ketika orang dewasa mendapatkan atasan yang buruk, mereka akan selalu punya pilihan untuk cari kerja lain. Atau paling buruk, resign dan menganggur. Intinya, selalu ada pilihan untuk tidak berurusan dengan orang buruk. Anak? Mereka tidak pernah minta dilahirkan oleh orang tua buruk. Dan ketika mereka mendapatkan orang tua yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya.

Page 80:
Meminta maaf ketika salah adalah wujud dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa dia salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia kepada orang yang dimintakan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang terlihat bodoh dan arogan.

Page 86:
Ada orang yang merugikan orang lain.
Ada orang yang merugikan keluarga yang menyayangi mereka.
Ada orang yang hanya merugikan diri sendiri.
Ada orang yang berguna untuk diri sendiri.
Ada orang yang berhasil menjadi berguna untuk keluarganya.
Terakhir adalah orang-orang yang berguna bagi orang lain.

Page 104:
Seorang anak, tidak wajib menjadi baik atau pintar hanya karena dia anak sulung. Nanti yang sulung benci sama takdirnya dan si bungsu tidak belajar tanggung jawab dengan cara yang sama. Semua anak wajib menjadi baik dan pintar karena memang itu yang sebaiknya semua manusia lakukan.

Page 106:
Menjadi panutan bukan tugas anak sulung—kepada adik-adiknya.
Menjadi panutan adalah tugas orang tua—untuk semua anak.

Page 119:
Harga diri kita tidak datang dari barang yang kita pakai. Tidak datang dari barang yang kita punya. Nilai kita datang dari sini, dari hati. Harga dari diri kita datang dari akhlak kita.

Page 130:
Berapa kali kamu jatuh itu gak penting. Yang penting berapa kali kamu bangkit lagi.

Page 150:
Beberapa orang dapat mengubah dunia dengan mimpi mereka. Mereka mengkristalisasi mimpi itu dengan rencana. Rencana itu mereka eksekusi dengan kerja keras. Ketika mereka gagal, mereka coba cara lain. Sementara beberapa lainnya tidak pernah menuangkan mimpinya dalam bentuk rencana. Apalagi bekerja untuk mewujudkan rencana itu.

Page 217
Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.

Find someone complimentary, not supplementary.” – Oprah Winfrey

Page 255:
Beberapa orang merasa berharga jika mereka bekerja di kantor. Beberapa orang merasa berharga jika mereka memastikan diri berada di rumah dan menjamin rumah tangga beres. Gak peduli mau kerja di kantor atau di rumah. Yang penting itu, suami dan istri menjadi pilar ekonomi untuk anak-anak. Yang penting itu, kalau salah satu dari pasangan pergi—yang ditinggalkan masih bisa mandiri. Yang penting itu, bagaimanapun kita bekerja, anak-anak tidak kekurangan perhatian orang tua. Yang penting itu, kemana pun, bagaimana pun orang cari nafkah, pasangannya ada di samping. Menambah yang kurang. Menjaga yang berharga.

***

By the way, yang terakhir itu salah satu yang bikin saya akhirnya semangat lagi walaupun hanya berdiam diri di rumah. Menjamin rumah tangga beres, Faris tumbuh dengan baik, dan tetap mencari tambahan penghasilan dengan bisnis online (walaupun bisnis online nya sekarang sedang sepi karena sempat vakum selama dua bulan lalu).


Saturday, March 7, 2015

Enggak pernah kebayang dalam pikiran, sejak masih lajang, setelah menikah, bahkan setelah punya anak; akan menjadi Ibu Rumah Tangga. Tanpa berniat meng-underestimate profesi yang luar biasa ini, saya yang notabenenya suka jalan-jalan, kesana-kemari, ikut kegiatan ini kegiatan itu, secara singkatnya gak terlalu betah berdiam diri di rumah dan belum lihai memasak (oopss), mana terpikir suatu saat akhirnya akan menjalani profesi ini.

But.. here I am. Being a fulltime housewife in our small apartment (dormitory) in Chiang Rai, Thailand. Pertama kalinya jauh dari orang tua, pertama kalinya tinggal di luar negeri, dan pertama kalinya langsung menjadi ibu rumah tangga yang semua urusan di dalamnya (kerapian, kebersihan, keamanan Faris, makanan, dan sebagainya) itu menjadi tanggung jawab saya. What a thoughtful experience!

Setelah dijalani selama dua bulan, ternyata jadi ibu rumah tangga itu enggak gampang lho. Susaaaaah bener! Apalagi ya bagi mereka yang pada dasarnya suka beraktivitas di luar rumah, yang punya impian super tinggi dan pengen ngelakuin banyak hal. Susahnya bukan di bagian ‘kerjaan’nya, tapi di bagian ‘perasaan’nya. Hehehe. Sesekali setan menang atas perasaan saya. Si setan ini seringnya gak senang lihat saya bisa sabar dan syukur atas apa yang saya jalani sekarang ini. Jatuh bangun mood ada beberapa hari sekali. Saat diri sedang semangat-semangatnya, tiba-tiba dikasih ujian dengan rewelnya Faris yang selalu butuh kawan main dan gak mau main sendirian kalau lagi hanya berdua dengan saya di kamar (beda nih kejadiannya kalau ada si Abi di kamar). Jangankan untuk doing things yang bisa meng-upgrade diri, nyelesaiin kerjaan rumah such as nyuci piring aja gak bisa! Nah lho!

Saat kesabaran menghadapi Faris sedang goyah, langsung deh si setan menghampiri dan membisikkan hal-hal yang selaluuuu berhasil bikin nambah galau:

“Ngapain kamu di sini, hanya di kamar sempit, ngurusin anak, ngurusin urusan rumah, sementara kawanmu di sana bisa ikut kegiatan ini itu yang bikin dirinya semakin baik.”

“Pulang aja gih ke Indonesia. You better there. Kamu di sana ada keluarga, ada teman-teman. Di sini hanya sendiri. Gak punya kawan, gak punya kegiatan gak punya masa depan.”

“Kawan-kawanmu di sana udah pada mau wisuda lho, kamu di sini hanya masak-nyuci-bersih-bersih dan ngurusin anak. Otakmu makin dumpul kalau hanya jadi pengurus rumah tangga!”

Lebih kurang demikianlah bisikan-bisikan kuat yang saya rasakan selama di sini. Beberapa kali saya kalah dan meminta pulang ke Indonesia pada suami. Beberapa kali saat lagi capek atau kehilangan ide memasak apa, dan lantas jadi kangen masakan bunda, saya juga minta pulang ke Indonesia. Beberapa kali juga saat tenggelam dalam suasana belajar mahasiswa di kampus Mae Fah Luang, saya teringat the beloved tesis dan minta pulang ke Indonesia. And then i realize, what a patient hubby, he is. Hehehe.

Ah, rasanya lemah sekali jiwa ini. Sebentar-sebentar tenggelam dalam bisikan setan. Terpengaruh lantas jatuh. Padahal kan harusnya tidak begitu. Allah ada di satu sisi, menguatkan. Sementara setan ada di sisi lain, menjatuhkan. Harusnya saya memilih Allah. Percaya pada janji-Nya. Toh ini keputusan saya sendiri. Toh hidup ini sebenar-benarnya roda yang berputar. Kalau dulu suami yang berjuang ekstra saat saya sedang S2, sekarang ya giliran saya. Walaupun bentuk perjuangannya berbeda.

Sedang berjuang untuk mereka
Dan sebenarnya jadi ibu rumah tangga itu keren lho. Ibu rumah tangga itu pemimpin atas rumahnya. Pemimpin atas anak-anaknya. Pemimpin atas kebutuhan suami dan anak-anaknya. Ibu rumah tangga itu yang paling diperlukan dalam sebuah keluarga. Dan menjadi ibu rumah tangga yang professional itu sungguh gak mudah. Seorang istri harus punya pendidikan yang baik, sikap dan karakter yang baik, kesabaran, kedisiplinan, ketelitian, dan jiwa yang kuat untuk bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Gak gampang! Serius!

Hanya berdiam di rumah sementara rekan seusianya sudah meniti karir entah kemana-kemana itu gak mudah! Bisikan-bisikan yang menjatuhkan sangat banyak. Padahal kalau ditelaah lagi, menghibahkan seluruh waktu untuk keluarga adalah hal paling mulia yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan. Menjamin suami dan anak-anak mendapatkan makanan yang sehat, menjamin segala kebutuhan suami dan anak-anak terpenuhi, menjamin bahwa suami dan anak-anak hidup di dalam rumah yang bersih hingga jiwa seluruh penghuni rumah pun bersih.

Seorang Ibu juga punya kewajiban penuh atas pendidikan anaknya. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan menjadi ibu rumah tangga, sekarang saya sedang diberikan kesempatan untuk mendidik Faris sebaik-baiknya, selalu ada di sampingnya, menjadi tidak hanya orang tua, tapi teman baginya. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan dengan penuh saat masih sibuk menjadi mahasiswi tingkat akhir di kampung halaman dulu.

Sekarang berbeda. Satu tahun yang tak lagi sama dengan sebelumnya. Sekarang saya adalah mahasiswi akhir yang sedang non-aktif di perkuliahan dan istri yang aktif dalam urusan pernikahan. 

This is my time. Ini waktu saya meng-upgrade diri yang sebenar-benarnya. Ini waktu untuk jiwa saya lebih berkembang. Ini waktu saya ditempah, dilatih, ditraining untuk tidak hanya menjadi istri atau ibu yang baik saja, tapi juga untuk menjadi diri saya yang baik seutuhnya, yang nantinya tidak hanya berguna bagi keluarga saya saya, tapi juga masyarakat pada umumnya. Bagaimanapun terasa beratnya, saya harus menikmatinya!

*Big thanks to hubby. Nasihatmu, sokonganmu, dan kesabaranmu itu luar biasa! 

3/07/2015 01:14:00 AM Desi YuLiana
Enggak pernah kebayang dalam pikiran, sejak masih lajang, setelah menikah, bahkan setelah punya anak; akan menjadi Ibu Rumah Tangga. Tanpa berniat meng-underestimate profesi yang luar biasa ini, saya yang notabenenya suka jalan-jalan, kesana-kemari, ikut kegiatan ini kegiatan itu, secara singkatnya gak terlalu betah berdiam diri di rumah dan belum lihai memasak (oopss), mana terpikir suatu saat akhirnya akan menjalani profesi ini.

But.. here I am. Being a fulltime housewife in our small apartment (dormitory) in Chiang Rai, Thailand. Pertama kalinya jauh dari orang tua, pertama kalinya tinggal di luar negeri, dan pertama kalinya langsung menjadi ibu rumah tangga yang semua urusan di dalamnya (kerapian, kebersihan, keamanan Faris, makanan, dan sebagainya) itu menjadi tanggung jawab saya. What a thoughtful experience!

Setelah dijalani selama dua bulan, ternyata jadi ibu rumah tangga itu enggak gampang lho. Susaaaaah bener! Apalagi ya bagi mereka yang pada dasarnya suka beraktivitas di luar rumah, yang punya impian super tinggi dan pengen ngelakuin banyak hal. Susahnya bukan di bagian ‘kerjaan’nya, tapi di bagian ‘perasaan’nya. Hehehe. Sesekali setan menang atas perasaan saya. Si setan ini seringnya gak senang lihat saya bisa sabar dan syukur atas apa yang saya jalani sekarang ini. Jatuh bangun mood ada beberapa hari sekali. Saat diri sedang semangat-semangatnya, tiba-tiba dikasih ujian dengan rewelnya Faris yang selalu butuh kawan main dan gak mau main sendirian kalau lagi hanya berdua dengan saya di kamar (beda nih kejadiannya kalau ada si Abi di kamar). Jangankan untuk doing things yang bisa meng-upgrade diri, nyelesaiin kerjaan rumah such as nyuci piring aja gak bisa! Nah lho!

Saat kesabaran menghadapi Faris sedang goyah, langsung deh si setan menghampiri dan membisikkan hal-hal yang selaluuuu berhasil bikin nambah galau:

“Ngapain kamu di sini, hanya di kamar sempit, ngurusin anak, ngurusin urusan rumah, sementara kawanmu di sana bisa ikut kegiatan ini itu yang bikin dirinya semakin baik.”

“Pulang aja gih ke Indonesia. You better there. Kamu di sana ada keluarga, ada teman-teman. Di sini hanya sendiri. Gak punya kawan, gak punya kegiatan gak punya masa depan.”

“Kawan-kawanmu di sana udah pada mau wisuda lho, kamu di sini hanya masak-nyuci-bersih-bersih dan ngurusin anak. Otakmu makin dumpul kalau hanya jadi pengurus rumah tangga!”

Lebih kurang demikianlah bisikan-bisikan kuat yang saya rasakan selama di sini. Beberapa kali saya kalah dan meminta pulang ke Indonesia pada suami. Beberapa kali saat lagi capek atau kehilangan ide memasak apa, dan lantas jadi kangen masakan bunda, saya juga minta pulang ke Indonesia. Beberapa kali juga saat tenggelam dalam suasana belajar mahasiswa di kampus Mae Fah Luang, saya teringat the beloved tesis dan minta pulang ke Indonesia. And then i realize, what a patient hubby, he is. Hehehe.

Ah, rasanya lemah sekali jiwa ini. Sebentar-sebentar tenggelam dalam bisikan setan. Terpengaruh lantas jatuh. Padahal kan harusnya tidak begitu. Allah ada di satu sisi, menguatkan. Sementara setan ada di sisi lain, menjatuhkan. Harusnya saya memilih Allah. Percaya pada janji-Nya. Toh ini keputusan saya sendiri. Toh hidup ini sebenar-benarnya roda yang berputar. Kalau dulu suami yang berjuang ekstra saat saya sedang S2, sekarang ya giliran saya. Walaupun bentuk perjuangannya berbeda.

Sedang berjuang untuk mereka
Dan sebenarnya jadi ibu rumah tangga itu keren lho. Ibu rumah tangga itu pemimpin atas rumahnya. Pemimpin atas anak-anaknya. Pemimpin atas kebutuhan suami dan anak-anaknya. Ibu rumah tangga itu yang paling diperlukan dalam sebuah keluarga. Dan menjadi ibu rumah tangga yang professional itu sungguh gak mudah. Seorang istri harus punya pendidikan yang baik, sikap dan karakter yang baik, kesabaran, kedisiplinan, ketelitian, dan jiwa yang kuat untuk bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Gak gampang! Serius!

Hanya berdiam di rumah sementara rekan seusianya sudah meniti karir entah kemana-kemana itu gak mudah! Bisikan-bisikan yang menjatuhkan sangat banyak. Padahal kalau ditelaah lagi, menghibahkan seluruh waktu untuk keluarga adalah hal paling mulia yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan. Menjamin suami dan anak-anak mendapatkan makanan yang sehat, menjamin segala kebutuhan suami dan anak-anak terpenuhi, menjamin bahwa suami dan anak-anak hidup di dalam rumah yang bersih hingga jiwa seluruh penghuni rumah pun bersih.

Seorang Ibu juga punya kewajiban penuh atas pendidikan anaknya. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan menjadi ibu rumah tangga, sekarang saya sedang diberikan kesempatan untuk mendidik Faris sebaik-baiknya, selalu ada di sampingnya, menjadi tidak hanya orang tua, tapi teman baginya. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan dengan penuh saat masih sibuk menjadi mahasiswi tingkat akhir di kampung halaman dulu.

Sekarang berbeda. Satu tahun yang tak lagi sama dengan sebelumnya. Sekarang saya adalah mahasiswi akhir yang sedang non-aktif di perkuliahan dan istri yang aktif dalam urusan pernikahan. 

This is my time. Ini waktu saya meng-upgrade diri yang sebenar-benarnya. Ini waktu untuk jiwa saya lebih berkembang. Ini waktu saya ditempah, dilatih, ditraining untuk tidak hanya menjadi istri atau ibu yang baik saja, tapi juga untuk menjadi diri saya yang baik seutuhnya, yang nantinya tidak hanya berguna bagi keluarga saya saya, tapi juga masyarakat pada umumnya. Bagaimanapun terasa beratnya, saya harus menikmatinya!

*Big thanks to hubby. Nasihatmu, sokonganmu, dan kesabaranmu itu luar biasa! 

Monday, February 2, 2015


Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.


- Imam Syafi'i -


Kalau tiap anak manusia ditanyakan tentang mimpinya satu persatu, jawabannya pasti tiap-tiap kita punya satu impian sederhana yang serupa; ke luar negeri. Alasannya beranekaragam. Ada yang memang doyan jalan-jalan, ada yang ingin melanjutkan pendidikan, ada yang ingin memupuk karir kerja, ada yang ingin mempelajari budaya, ada juga yang kadang menjadikan pendidikan sebagai modus untuk bisa jalan-jalan ke negeri tujuan #oops! , atau bahkan ada yang bener-bener serius pengen menjelajah dunia dengan satu alasan super duper klasik tapi tak bias; ingin menjelajahi ciptaan Allah, untuk kemudian direnungi begitu besar dan indahnya ciptaan-Nya itu (semoga yang ini menjadi salah satu alasan kita memutuskan ingin keluar negeri ya!).

Well, tak muluk-muluk, saya juga bermimpi untuk bisa meninggalkan jejak kaki saya di negeri luar, di negeri yang bahasanya bukan bahasa Indonesia, di negeri yang Islam bukan agama utama, di negeri yang adat-budaya-kebiasannya sangat berbeda dengan tanah air beta.

Pertanyaannya, ke negara mana impianmu itu?

Mekkah?
Ya, muslim mana sih yang gak mau ke tanah suci itu? Pasti. Tapi rasanya ke Mekkah itu bukan impian, melainkan sesuatu yang memang harus kita usahakan agar menjadi kenyataan. Bukan sekedar mimpi. Karena kita punya satu kewajiban yang harus kita laksanakan di negeri itu; ibadah haji. Jadi, mampu gak mampu, minimal kita udah berusaha nabung pelan-pelan untuk bisa berangkat haji ke tanah suci. Kita ada usaha pasti. Walaupun jalannya mungkin akan selambat si imut siput. Atau bahkan tidak jalan sama sekali. Bener kan?

So, I think, Mekkah, Madinah, Palestina, adalah negeri-negeri yang tidak perlu kita tuliskan di daftar negeri impian kita. Karena tiga tanah suci ini udah melekat erat di hati, lebih dari sekedar mimpi, tanpa perlu kita beri tahukan pada dunia bahwa kita benar-benar ingin ke sana. TIga tanah suci ini seringnya pun ‘hadir’ dalam doa kita, doa yang bunyi dan tujuannya berbeda jika dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya.

Turki?
Ya. Negara ini juga menjadi salah satu negara yang saya ingin juga bisa menapakkan kaki di atas tanahnya, menghirup udara segarnya, menikmati bangunan-bangunan kuno klasik-indah bersejarahnya.

Gak berpanjang-panjang cerita, kawan-kawan dekat pasti udah tahu jawaban terakhir ini:
Jepang!
Bisa dibilang saya salah satu dari sekian banyaknya Indonesian yang Japan holics! Jatuh cinta pada negeri yang di atasnya berdiri Gunung Fuji ini. Kenapa Jepang? Ceritanya panjang. Yang jelas, salah satu alasan ‘bodoh’ kenapa pengen banget ke Jepang, karena ada bunga sakura #eaaaa. Gak juga ding! Tapi.. bener-bener kagum sama negara ini karena.. walaupun termasuk negara maju, dengan perkembangan teknologinya yang luar biasa, adat-budaya dan hal-hal tradisional masih dijaga di sana. Well, untuk hal ini jangan berkiblat berat ke kota Tokyo ya :p

Ya, Jepang punya sisi negatif, pasti itu. There are always two sides in everything. Bad side and good side. Tak usah ragu. Tapi negara yang bunga sakura masih setia bersemi di pohon-pohonnya ini kaya’nya banyak sisi positifnya deh. Pokoknya.. mau belajar di sana! Mau jalan-jalan di sana! Mau merenung di sana! Kabulkan ya Allah.. Aamiin.. #ngarep

Dan ternyata.. hari itu tiba. 

06 Januari 2015, untuk yang pertama kalinya dalam sejarah hidup Desi Yuliana (lebay), ia mendarat sempurna di luar Indonesia. Alhamdulillah. Walaupun itu bukan mendarat di negeri impian, the story of merantau has began. Namun, alasan keberangkatan ke negara luar kali ini tidak pernah tertulis dalam buku-buku harian; ikut suami! Hahaha. Biasanya kan tertulis.. lanjut master di Jepang atau yang paling ABG; jalan-jalan ke Korea. Nah, kali ini akhirnya bisa ke luar negeri, tapi bukan untuk sekolah dan jalan-jalan, melainkan untuk mengikuti suami yang sedang sekolah, di negeri gajah putih, negeri yang kata orang Aceh ‘meu khap khap’. Senang gak senang sih. Senang, akhirnya bisa merantau. Sedikit kurang senang, karena merantaunya bukan karena usaha sendiri, alias bukan dengan perjuangan sendiri, melainkan dengan perjuangan si suami. Walaupun pada akhirnya saat di sini betul-betul berjuang. Berjuang menjadi full time mother + housewife dengan modal peralatan dan pengalaman yang masih ala kadarnya #alahmaaaak.

Keputusan yang berat. Really a tough decision!
Memutuskan ikut suami tinggal di negeri orang dalam kondisi saya yang sedang berjuang menyelesaikan tesis saat itu means: makin telat selesai S2, kudu belajar masak (karena salah satu alasan suami ajak saya ke sini ya itu, biar bisa hemat di urusan konsumsi selama sekolah, LOL), dan juga kudu betah hanya tinggal di sepetak kamar setiap hari. Ini berat lho, saya yang notabenenya selama di kota asal sering jalan ke sana kemari, dengan rumah yang peralatannya Alhamdulillah serba lengkap, pengen ini ada, pengen itu ada, pengen makan udah ada yang masakin, kafe-kafe dengan berbagai makanan kesukaan berlimpah, stress jaga anak ada alternatif yang bisa bantuin (pengasuh atau ke daycare, oops), stress karena tesis ada kawan yang bisa diajak menggila dan sebagainya.

Memutuskan hidup bersama suami di negeri orang means meninggalkan semua kelengkapan hidup dan kenyamanan yang ada, kehilangan kehangatan keluarga dan kehebohan kawan-kawan tercinta, melupakan sejenak makanan-makanan yang buat sangat berselera, melepas segala corak titel ‘bisa hidup santai’ yang penuh dengan bantuan di ujung Sumatera sana dan memulai hampir semuanya dari awal lagi.

New life has began. Untuk yang pertama kalinya saya hidup jauh dari orang tua dan keluarga. Yup. Ini kehidupan baru. Suasana baru. Lingkungan baru. Cerita baru. Perjuangan baru. Merantau!

7 Januari 2015 malam, tiba di Chiang Rai. Kota yang terletak di sebelah utara Thailand. Daerah pegunungan. Sangat jauh dari hiruk pikuk kota panas Bangkok, sekitar 12 jam ke sana jika ditempuh dengan perjalanan darat. Kota yang adem ayem dan masih terasa kesan tradisionalnya. Chiang Rai menyambut saya dengan musim dingin yang brrrr.. dingin lah pastinya, walaupun tidak sampai ada salju. Kata kawan sih suhunya pernah sampai 4 derajat celcius kalau malam. Huwaaah, gak kuat mak! Sejenis weather shock di awal perjuangan. Sejak di sini saya jadi tidak penasaran lagi dengan si cantik salju, kaya’nya gak bakalan kuat deh nahan dinginnya.. brrrr.

Di Chiang Rai, karena tidak disediakan asrama untuk student yang membawa serta keluarga, kami akhirnya menyewa apartement (1 kamar,  1 kamar mandi, 1 dapur) yang bayarnya per-bulan. Nama apartmentnya Fathai, letaknya di luar kampus (kalau di dekat kampus harganya muahaaal), dan apartment atau kalau di Indo kita sebutnya kos-kosan ini dekat dengan pasar, jadi si istri yang baru belajar masak ini gampang kalau mau belanja, hehehe.

Kampus suami di sini namanya Mae Fah Luang University, salah satu kampus intenational di Thailand. Letaknya di perbukitan. Kesan pertama masuk ke kampus ini, suasananya serupa dengan komplek perumahan Arun di Lhokseumawe, but this is much better. Indah banget! Nyaman senyaman-nyamannya kalau lagi di kampus MFU ini. Design bangunannya, pohon-pohonnya, danaunya, segala suasananya bikin mudah jatuh cinta #eh. Mendadak pengen daftar jadi mahasiswanya, hush! Ingat tesis yang sedang kamu tinggalkan! Hahaha.

View depan dari Mae Fah Luang University

Well, cerita merantau di negeri meu khap khap sudah berjalan hampir sebulan lamanya. Naik turun stabilnya jiwa mulai terasa. Homesick sudah menyapa. Perasaan ingin pulang pun ada. Perasaan rindu dan gejolak ingin buat tesis anehnya datang tiba-tiba. Tapi Insya Allah semangat untuk belajar berjuang mandiri masih menyala kok. Tenang saudara-saudara.  Doakan saya kuat ya! Doakan masakan saya enak ya! Doakan saya dan suami bisa mulai bisnis di sini ya! Doakan rezeki kami lancar ya! Doakan.. Doakan yang terbaik untuk keluarga kami dan kita semua.


Fathai 8 Apartment, Nang Lae, Chiang Rai.
3 February 2015, 12:25 AM (when the boys are sleeping).



2/02/2015 10:26:00 AM Desi YuLiana

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.


- Imam Syafi'i -


Kalau tiap anak manusia ditanyakan tentang mimpinya satu persatu, jawabannya pasti tiap-tiap kita punya satu impian sederhana yang serupa; ke luar negeri. Alasannya beranekaragam. Ada yang memang doyan jalan-jalan, ada yang ingin melanjutkan pendidikan, ada yang ingin memupuk karir kerja, ada yang ingin mempelajari budaya, ada juga yang kadang menjadikan pendidikan sebagai modus untuk bisa jalan-jalan ke negeri tujuan #oops! , atau bahkan ada yang bener-bener serius pengen menjelajah dunia dengan satu alasan super duper klasik tapi tak bias; ingin menjelajahi ciptaan Allah, untuk kemudian direnungi begitu besar dan indahnya ciptaan-Nya itu (semoga yang ini menjadi salah satu alasan kita memutuskan ingin keluar negeri ya!).

Well, tak muluk-muluk, saya juga bermimpi untuk bisa meninggalkan jejak kaki saya di negeri luar, di negeri yang bahasanya bukan bahasa Indonesia, di negeri yang Islam bukan agama utama, di negeri yang adat-budaya-kebiasannya sangat berbeda dengan tanah air beta.

Pertanyaannya, ke negara mana impianmu itu?

Mekkah?
Ya, muslim mana sih yang gak mau ke tanah suci itu? Pasti. Tapi rasanya ke Mekkah itu bukan impian, melainkan sesuatu yang memang harus kita usahakan agar menjadi kenyataan. Bukan sekedar mimpi. Karena kita punya satu kewajiban yang harus kita laksanakan di negeri itu; ibadah haji. Jadi, mampu gak mampu, minimal kita udah berusaha nabung pelan-pelan untuk bisa berangkat haji ke tanah suci. Kita ada usaha pasti. Walaupun jalannya mungkin akan selambat si imut siput. Atau bahkan tidak jalan sama sekali. Bener kan?

So, I think, Mekkah, Madinah, Palestina, adalah negeri-negeri yang tidak perlu kita tuliskan di daftar negeri impian kita. Karena tiga tanah suci ini udah melekat erat di hati, lebih dari sekedar mimpi, tanpa perlu kita beri tahukan pada dunia bahwa kita benar-benar ingin ke sana. TIga tanah suci ini seringnya pun ‘hadir’ dalam doa kita, doa yang bunyi dan tujuannya berbeda jika dibandingkan dengan negeri-negeri lainnya.

Turki?
Ya. Negara ini juga menjadi salah satu negara yang saya ingin juga bisa menapakkan kaki di atas tanahnya, menghirup udara segarnya, menikmati bangunan-bangunan kuno klasik-indah bersejarahnya.

Gak berpanjang-panjang cerita, kawan-kawan dekat pasti udah tahu jawaban terakhir ini:
Jepang!
Bisa dibilang saya salah satu dari sekian banyaknya Indonesian yang Japan holics! Jatuh cinta pada negeri yang di atasnya berdiri Gunung Fuji ini. Kenapa Jepang? Ceritanya panjang. Yang jelas, salah satu alasan ‘bodoh’ kenapa pengen banget ke Jepang, karena ada bunga sakura #eaaaa. Gak juga ding! Tapi.. bener-bener kagum sama negara ini karena.. walaupun termasuk negara maju, dengan perkembangan teknologinya yang luar biasa, adat-budaya dan hal-hal tradisional masih dijaga di sana. Well, untuk hal ini jangan berkiblat berat ke kota Tokyo ya :p

Ya, Jepang punya sisi negatif, pasti itu. There are always two sides in everything. Bad side and good side. Tak usah ragu. Tapi negara yang bunga sakura masih setia bersemi di pohon-pohonnya ini kaya’nya banyak sisi positifnya deh. Pokoknya.. mau belajar di sana! Mau jalan-jalan di sana! Mau merenung di sana! Kabulkan ya Allah.. Aamiin.. #ngarep

Dan ternyata.. hari itu tiba. 

06 Januari 2015, untuk yang pertama kalinya dalam sejarah hidup Desi Yuliana (lebay), ia mendarat sempurna di luar Indonesia. Alhamdulillah. Walaupun itu bukan mendarat di negeri impian, the story of merantau has began. Namun, alasan keberangkatan ke negara luar kali ini tidak pernah tertulis dalam buku-buku harian; ikut suami! Hahaha. Biasanya kan tertulis.. lanjut master di Jepang atau yang paling ABG; jalan-jalan ke Korea. Nah, kali ini akhirnya bisa ke luar negeri, tapi bukan untuk sekolah dan jalan-jalan, melainkan untuk mengikuti suami yang sedang sekolah, di negeri gajah putih, negeri yang kata orang Aceh ‘meu khap khap’. Senang gak senang sih. Senang, akhirnya bisa merantau. Sedikit kurang senang, karena merantaunya bukan karena usaha sendiri, alias bukan dengan perjuangan sendiri, melainkan dengan perjuangan si suami. Walaupun pada akhirnya saat di sini betul-betul berjuang. Berjuang menjadi full time mother + housewife dengan modal peralatan dan pengalaman yang masih ala kadarnya #alahmaaaak.

Keputusan yang berat. Really a tough decision!
Memutuskan ikut suami tinggal di negeri orang dalam kondisi saya yang sedang berjuang menyelesaikan tesis saat itu means: makin telat selesai S2, kudu belajar masak (karena salah satu alasan suami ajak saya ke sini ya itu, biar bisa hemat di urusan konsumsi selama sekolah, LOL), dan juga kudu betah hanya tinggal di sepetak kamar setiap hari. Ini berat lho, saya yang notabenenya selama di kota asal sering jalan ke sana kemari, dengan rumah yang peralatannya Alhamdulillah serba lengkap, pengen ini ada, pengen itu ada, pengen makan udah ada yang masakin, kafe-kafe dengan berbagai makanan kesukaan berlimpah, stress jaga anak ada alternatif yang bisa bantuin (pengasuh atau ke daycare, oops), stress karena tesis ada kawan yang bisa diajak menggila dan sebagainya.

Memutuskan hidup bersama suami di negeri orang means meninggalkan semua kelengkapan hidup dan kenyamanan yang ada, kehilangan kehangatan keluarga dan kehebohan kawan-kawan tercinta, melupakan sejenak makanan-makanan yang buat sangat berselera, melepas segala corak titel ‘bisa hidup santai’ yang penuh dengan bantuan di ujung Sumatera sana dan memulai hampir semuanya dari awal lagi.

New life has began. Untuk yang pertama kalinya saya hidup jauh dari orang tua dan keluarga. Yup. Ini kehidupan baru. Suasana baru. Lingkungan baru. Cerita baru. Perjuangan baru. Merantau!

7 Januari 2015 malam, tiba di Chiang Rai. Kota yang terletak di sebelah utara Thailand. Daerah pegunungan. Sangat jauh dari hiruk pikuk kota panas Bangkok, sekitar 12 jam ke sana jika ditempuh dengan perjalanan darat. Kota yang adem ayem dan masih terasa kesan tradisionalnya. Chiang Rai menyambut saya dengan musim dingin yang brrrr.. dingin lah pastinya, walaupun tidak sampai ada salju. Kata kawan sih suhunya pernah sampai 4 derajat celcius kalau malam. Huwaaah, gak kuat mak! Sejenis weather shock di awal perjuangan. Sejak di sini saya jadi tidak penasaran lagi dengan si cantik salju, kaya’nya gak bakalan kuat deh nahan dinginnya.. brrrr.

Di Chiang Rai, karena tidak disediakan asrama untuk student yang membawa serta keluarga, kami akhirnya menyewa apartement (1 kamar,  1 kamar mandi, 1 dapur) yang bayarnya per-bulan. Nama apartmentnya Fathai, letaknya di luar kampus (kalau di dekat kampus harganya muahaaal), dan apartment atau kalau di Indo kita sebutnya kos-kosan ini dekat dengan pasar, jadi si istri yang baru belajar masak ini gampang kalau mau belanja, hehehe.

Kampus suami di sini namanya Mae Fah Luang University, salah satu kampus intenational di Thailand. Letaknya di perbukitan. Kesan pertama masuk ke kampus ini, suasananya serupa dengan komplek perumahan Arun di Lhokseumawe, but this is much better. Indah banget! Nyaman senyaman-nyamannya kalau lagi di kampus MFU ini. Design bangunannya, pohon-pohonnya, danaunya, segala suasananya bikin mudah jatuh cinta #eh. Mendadak pengen daftar jadi mahasiswanya, hush! Ingat tesis yang sedang kamu tinggalkan! Hahaha.

View depan dari Mae Fah Luang University

Well, cerita merantau di negeri meu khap khap sudah berjalan hampir sebulan lamanya. Naik turun stabilnya jiwa mulai terasa. Homesick sudah menyapa. Perasaan ingin pulang pun ada. Perasaan rindu dan gejolak ingin buat tesis anehnya datang tiba-tiba. Tapi Insya Allah semangat untuk belajar berjuang mandiri masih menyala kok. Tenang saudara-saudara.  Doakan saya kuat ya! Doakan masakan saya enak ya! Doakan saya dan suami bisa mulai bisnis di sini ya! Doakan rezeki kami lancar ya! Doakan.. Doakan yang terbaik untuk keluarga kami dan kita semua.


Fathai 8 Apartment, Nang Lae, Chiang Rai.
3 February 2015, 12:25 AM (when the boys are sleeping).



Friday, July 26, 2013

Berawal dari perbincangan dan postingan seorang teman di akun twitter miliknya yang membagikan gambar 'another cocktail in Tunisia' yaitu strawberry and banana flavour--cocktail yang cukup simpel menurut saya--niat untuk membuat dessert itu pun muncul dan menggebu-gebu (maklum, udah jadi istri rumah tangga sekarang, keinginan masak-memasak meningkat drastis :p).

Nah, berbekal info dan resep sederhana dari orang yang sama pula ekseskusi pembuatan cocktail strawberry dan pisang akan segera dilaksanakan. Awalnya masih bingung dan ragu, dimana saya bisa mendapatkan buah strawberry di Banda Aceh ini. Karena strawberry masih termasuk buah yang langka di sini, tidak di semua tempat dan jika pun ada, hanya pada waktu-waktu tertentu ada yang menjualnya (atau saya yang kurang informasi? Entahlah). 

Well, beberapa hari yang lalu pertanyaan saya terjawab, saat sedang membeli buah segar demi nutrisi si buah hati di toko buah yang tidak jauh dari tempat tinggal, saya melihat ada strawberry yang terpajang manis di kulkas di sana. Cocktail tunisia itu pun tiba-tiba merasuk pikiran. Namun masih ragu, apa orang rumah (Ayah dan Bunda-red) bakalan suka jika cocktail yang notabenenya bukan makanan khas Indonesia apalagi Aceh disajikan untuk berbuka? Jadi impian membuat cocktail pun tertahan lagi.

Sampai akhirnya siang tadi Bunda tiba-tiba bertanya, "Buat apa kita nanti sore dek?" Ting ! Lampu menyala. Langsung saja saya utarakan, "Buat cocktail yok nda, dek ada resep cocktail sederhana ala Tunisia", nyambi memperlihatkan foto cocktail yang dibagikan teman dari sana. Awalnya Bunda ragu karena tidak tahu dimana bisa mendapatkan strawberry, tapi setelah saya beritahukan bahwa di toko buah langganan kami ada, Alhamdulillah Bunda langsung setuju. 

Singkat cerita, misi untuk membuat cocktail hari ini sukses saudara-saudara. Sebenarnya biasa aja, wong banyak yang udah sering dan berpengalaman buat desert yang begituan di rumahnya. Tapi bagi saya ini pengalaman perdana lho, dan melihat senyuman di wajah Ayah, Bunda, dan Misua saat cocktail itu saya sajikan sebelum berbuka itu rasanya sesuatu sekali, hehehe. 

Bagi yang penasaran, sinih, cek langsung bahan dan cara membuatnya yang sangaaat sederhana (tapi maaf ya jika cara penyampaiannya kurang greget, harap maklum, baru kali ini berbagi resep masakan --").

Bahan:
- Strawberry
- Pisang
- Es krim vanilla
- Susu kental manis rasa coklat
*strawberry dan pisang secukupnya ya, sesuaikan dengan porsi yang ingin dibuat aja*

Cara membuat:
Blender strawberry dan pisang secara terpisah, saya sarankan tambahkan gula saat diblender supaya lebih manis. Tuangkan satu persatu jus tersebut ke dalam gelas, strawberry terlebih dahulu, baru tuangkan pisang di atasnya. Tambahkan es krim vanila (kebetulan yang saya buat hari ini pakai es krim strawberry + vanila, karena sesuatu dan lain hal, human error pokoknya XD) sesuai selera. Langkah terakhir; tambah dan kreasikan susu kental manis coklat di atasnya. 

Daaaaan.. tarraaaaa.. Strawberry Banana Mocktail kita pun jadiii °\(^▿^)/°°\(^▿^)/° 

Ini hasil kerja saya :)

*saya menyebutnya mocktail karena mocktail itu adalah cocktail tanpa alkohol. Penjelasan selanjutnya, sila tanyakan pada Prof. Gugel yang terhormat, hehehe* 

Selamat berksperimen ! 



7/26/2013 08:48:00 AM Desi YuLiana
Berawal dari perbincangan dan postingan seorang teman di akun twitter miliknya yang membagikan gambar 'another cocktail in Tunisia' yaitu strawberry and banana flavour--cocktail yang cukup simpel menurut saya--niat untuk membuat dessert itu pun muncul dan menggebu-gebu (maklum, udah jadi istri rumah tangga sekarang, keinginan masak-memasak meningkat drastis :p).

Nah, berbekal info dan resep sederhana dari orang yang sama pula ekseskusi pembuatan cocktail strawberry dan pisang akan segera dilaksanakan. Awalnya masih bingung dan ragu, dimana saya bisa mendapatkan buah strawberry di Banda Aceh ini. Karena strawberry masih termasuk buah yang langka di sini, tidak di semua tempat dan jika pun ada, hanya pada waktu-waktu tertentu ada yang menjualnya (atau saya yang kurang informasi? Entahlah). 

Well, beberapa hari yang lalu pertanyaan saya terjawab, saat sedang membeli buah segar demi nutrisi si buah hati di toko buah yang tidak jauh dari tempat tinggal, saya melihat ada strawberry yang terpajang manis di kulkas di sana. Cocktail tunisia itu pun tiba-tiba merasuk pikiran. Namun masih ragu, apa orang rumah (Ayah dan Bunda-red) bakalan suka jika cocktail yang notabenenya bukan makanan khas Indonesia apalagi Aceh disajikan untuk berbuka? Jadi impian membuat cocktail pun tertahan lagi.

Sampai akhirnya siang tadi Bunda tiba-tiba bertanya, "Buat apa kita nanti sore dek?" Ting ! Lampu menyala. Langsung saja saya utarakan, "Buat cocktail yok nda, dek ada resep cocktail sederhana ala Tunisia", nyambi memperlihatkan foto cocktail yang dibagikan teman dari sana. Awalnya Bunda ragu karena tidak tahu dimana bisa mendapatkan strawberry, tapi setelah saya beritahukan bahwa di toko buah langganan kami ada, Alhamdulillah Bunda langsung setuju. 

Singkat cerita, misi untuk membuat cocktail hari ini sukses saudara-saudara. Sebenarnya biasa aja, wong banyak yang udah sering dan berpengalaman buat desert yang begituan di rumahnya. Tapi bagi saya ini pengalaman perdana lho, dan melihat senyuman di wajah Ayah, Bunda, dan Misua saat cocktail itu saya sajikan sebelum berbuka itu rasanya sesuatu sekali, hehehe. 

Bagi yang penasaran, sinih, cek langsung bahan dan cara membuatnya yang sangaaat sederhana (tapi maaf ya jika cara penyampaiannya kurang greget, harap maklum, baru kali ini berbagi resep masakan --").

Bahan:
- Strawberry
- Pisang
- Es krim vanilla
- Susu kental manis rasa coklat
*strawberry dan pisang secukupnya ya, sesuaikan dengan porsi yang ingin dibuat aja*

Cara membuat:
Blender strawberry dan pisang secara terpisah, saya sarankan tambahkan gula saat diblender supaya lebih manis. Tuangkan satu persatu jus tersebut ke dalam gelas, strawberry terlebih dahulu, baru tuangkan pisang di atasnya. Tambahkan es krim vanila (kebetulan yang saya buat hari ini pakai es krim strawberry + vanila, karena sesuatu dan lain hal, human error pokoknya XD) sesuai selera. Langkah terakhir; tambah dan kreasikan susu kental manis coklat di atasnya. 

Daaaaan.. tarraaaaa.. Strawberry Banana Mocktail kita pun jadiii °\(^▿^)/°°\(^▿^)/° 

Ini hasil kerja saya :)

*saya menyebutnya mocktail karena mocktail itu adalah cocktail tanpa alkohol. Penjelasan selanjutnya, sila tanyakan pada Prof. Gugel yang terhormat, hehehe* 

Selamat berksperimen ! 



“Jangan monopoli kebenaran seolah hanya kalian yang benar!”
Tapi faktanya hanya yang liberal yang benar dan lainnya salah.

“Jangan anti perbedaan!”
Tapi faktanya kaum liberallah yang tak bisa menerima pendapat umat Islam.

“Jangan mengobral ayat suci!”
Itu kalau sudah dipojokkan dengan ayat-ayat kitab suci. Kalau tidak, justru kaum liberallah yang memotong-motong ayat sesuka hati dan menafsirkan sesuai nafsu.

“Kita harus menghargai demokrasi!”
Tapi giliran Islam berkuasa di Palestina, Turki dan Mesir kalian caci maki. Ada kudeta kalian tepuk tangan memuja-muji.

“Islam bukan agama kekerasan. Ormas yang menggunakan kekerasan seperti FPI harus dibubarkan!”
Tapi giliran Zionis menjajah Palestina kalian ridhai.
Saat Mursi, presiden hafidz Qur’an yang terpilih secara demokratis dikudeta kalian hepi-hep.
Saat Jenderal As-Sisi yang didukung oposisi mengerahkan militer membantai jamaah shalat subuh kalian berdiam diri seolah tak ada apa-apa terjadi.

***

By: Anugrah Roby Syahputra,  Syair Lapuk Kaum Liberal



7/26/2013 02:15:00 AM Desi YuLiana
“Jangan monopoli kebenaran seolah hanya kalian yang benar!”
Tapi faktanya hanya yang liberal yang benar dan lainnya salah.

“Jangan anti perbedaan!”
Tapi faktanya kaum liberallah yang tak bisa menerima pendapat umat Islam.

“Jangan mengobral ayat suci!”
Itu kalau sudah dipojokkan dengan ayat-ayat kitab suci. Kalau tidak, justru kaum liberallah yang memotong-motong ayat sesuka hati dan menafsirkan sesuai nafsu.

“Kita harus menghargai demokrasi!”
Tapi giliran Islam berkuasa di Palestina, Turki dan Mesir kalian caci maki. Ada kudeta kalian tepuk tangan memuja-muji.

“Islam bukan agama kekerasan. Ormas yang menggunakan kekerasan seperti FPI harus dibubarkan!”
Tapi giliran Zionis menjajah Palestina kalian ridhai.
Saat Mursi, presiden hafidz Qur’an yang terpilih secara demokratis dikudeta kalian hepi-hep.
Saat Jenderal As-Sisi yang didukung oposisi mengerahkan militer membantai jamaah shalat subuh kalian berdiam diri seolah tak ada apa-apa terjadi.

***

By: Anugrah Roby Syahputra,  Syair Lapuk Kaum Liberal



Thursday, July 18, 2013


Kata mereka aku tergesa.. tapi aku punya pendapat beda.
Ini urusan agama, aku tak peduli, masih terlalu muda ataukah sudah cukup usia.
Aku mantap melangkahkan jejak ke arah sana..

Kata mereka aku beruntung.. tapi aku rasa tak perlu lah aku mematung.
Ini bukan sekedar ayunan yang digantung. Bukan!
Lebih dari itu, tentang hidup yang likunya tak terhitung..

Kata mereka aku berubah.. yaah, aku adalah aku. 
Melakukan ini itu sebab ingin beribadah.
Bukan karena orang lain yang memaksa berjubah..

Kata mereka aku..

Aah, aku tak mau dan tak lagi peduli,
Dan memang seharusnya aku tak peduli.
Karena bukankah hati kita dominan terisi oleh apa yang orang lain pikirkan untuk kita, bukan apa yang Allah pikirkan untuk kita?



Pondok Panci (Pandi dan Eci), Jumat; 10 Ramadhan 1434 H
#PenaKamiTidakPuasa




7/18/2013 10:30:00 PM Desi YuLiana

Kata mereka aku tergesa.. tapi aku punya pendapat beda.
Ini urusan agama, aku tak peduli, masih terlalu muda ataukah sudah cukup usia.
Aku mantap melangkahkan jejak ke arah sana..

Kata mereka aku beruntung.. tapi aku rasa tak perlu lah aku mematung.
Ini bukan sekedar ayunan yang digantung. Bukan!
Lebih dari itu, tentang hidup yang likunya tak terhitung..

Kata mereka aku berubah.. yaah, aku adalah aku. 
Melakukan ini itu sebab ingin beribadah.
Bukan karena orang lain yang memaksa berjubah..

Kata mereka aku..

Aah, aku tak mau dan tak lagi peduli,
Dan memang seharusnya aku tak peduli.
Karena bukankah hati kita dominan terisi oleh apa yang orang lain pikirkan untuk kita, bukan apa yang Allah pikirkan untuk kita?



Pondok Panci (Pandi dan Eci), Jumat; 10 Ramadhan 1434 H
#PenaKamiTidakPuasa




Thursday, June 6, 2013

Sekitar seminggu yang lalu, saya menghampiri toko buku langganan; Pustaka Paramitha yang terletak di Kp. Mulia, Banda Aceh. Saya langganan di sana karena menurut saya, toko buku terlengkap di kota Banda Aceh sejauh ini yaa Pustaka Paramitha. Koleksi bukunya lengkap dan selalu sukses bikin hati kleper-kleper; pengen dibawa pulang semuanya (deu, berburu harta karun).

Dari hasil perburuan seminggu yang lalu itu, saya membawa pulang sebuah novel kecil, dengan cover yang imut dan lucu (chibi chibi chibi #eh), judulnya adalaaaaaaah.. 'Takoyaki Soulmate'. Pasti pada tahu kan kenapa buku itu yang berhasil menarik hati saya? Ya. Bener! Karena itu novel je-Jepang-an. Dan you know lah, saya memang koleksi buku-buku atau novel-novel bertema Jepang, tapi tentu tidak semuanya, harus diseleksi dulu kan ya? Toh, sekarang banyak buku je-Jepang-an yang inti ceritanya romantisme cinta picisan, malas bacanya beh! (Lho, kok jadi curhat?).


Takoyaki Soulmate ini bercerita tentang sosok Maya, yang bekerja paruh waktu di kafe Jepang; 'Kaguya's Corner'. Namanya kafe Jepang, ya pastilah makanan yang disediakan di sana makanan-makanan Jepang; takoyaki, okonomiyaki, dorayaki, taiyaki, dan sebagainya. Nah, inti dari cerita hari ini adalah.. saya yang sedang kehilangan nafsu makan (sekalipun itu makanan favorit) akibat sedang menderita 'morning sickness' tri semester pertama ini mendadak kepikiran, kepikiran, dan kepikiran takoyaki >__< Saya mau takoyaki! Entah ini yang disebut ngidam, entah hanya keinginan perut yang sudah kangen sama bola-bola kecil itu. Pokoknya, saya mau takoyaki!

Alhasil. Mulailah segala rengekan pada misua; mau makanan Jepang, boleh makan di sana atau dibawa pulang. Tapi sayang, misua sedang ada kerjaan, dan nafsu makan si bola-bola itu harus tertunda sementara. Gak kehabisan akal, saya coba merayu si penggemar okonomiyaki: Risnasari dan mengajaknya pergi ke Hana Cafe (kantin Jepang sederhana yang letaknya di depan Lapangan Tugu Unsyiah). Tapi sayang, kawan yang satu itu pun di hari libur ini ada kerjaan mendadak *depresi*. 

Alhamdulillah.. sore ini Allah mengabulkan doa saya untuk bertemu dengan takoyaki (lebay!). Misua yang sedang bekerja akhirnya luluh diajak makan makanan Jepang. Dan Hana Cafe, we are coming!

Hana Cafe, sebenarnya sudah dari beberapa bulan lalu saya tahu ada kafe makanan Jepang di kawasan Darussalam. Pemiliknya orang Jepang asli. Sudah dari beberapa bulan lalu pula saya ingin berkunjung ke sana, tapi karena satu dan lain hal, kesempatan itu belum ada. 

Nah, tiba di Hana Cafe, saya dan misua disambut dengan suasana kafe/kantin sederhana yang dibuka di halaman rumah. Konsepnya manis, hanya dengan atap rumbia, kursi-kursi plastik sederhana (tersedia juga kursi lesehan), dan beberapa pohon-pohon kecil yang dijadikan teman menyantap makanan.

Menu yang disediakan pun sangat sederhana, dengan harga yang sangat terjangkau (5000 - 10000 rupiah). Menu khas Jepang yang disediakan di sana ada empat macam: Takoyaki, Okonomiyaki, Sushi, dan Kakigori (es serut super segar). Sedangkan menu pelengkapnya hanya pada varian minuman. Minuman-minuman khas Aceh dan Indonesia, misalnya teh manis, teh jeruk nipis, teh susu, milo, dan sebagainya juga disediakan di sana. Jadi gak usah takut jika gak ada makanan atau minuman yang pas di lidah. 

Mengajak misua, ada rasa khawatir juga sebenarnya. Bakalan suka gak ya dengan makanan Jepang yang bagi sebagian orang terasa aneh dan tidak cocok di lidah? Tapi Alhamdulillah, ternyata eh ternyata misua suka dan menilai enak untuk takoyaki dan okonomiyaki yang kami pesan tadi (legaaaa!).  Dan Alhamdulillah lagi, saya yang biasanya selalu tidak sanggup menghabiskan makanan ini tadi mendadak berubah! Seporsi takoyaki, plus sepotong okonomiyaki--yang saya comot dari punya misua--sanggup saya habiskan. Horeeee \(^^)/  Mungkin karena ada bantuan dari es serut Kakigori kali ya? Jadi mulut dan perut berkurang mualnya karena kesegaran dari si es serut tadi. 

Nah, ini foto takoyaki, okonomiyaki, dan kakigori official Hana Cafe Banda Aceh yang saya ambil dari blogger Banda Aceh yang juga pernah ke sana, bukan hasil comot dari Prof. Gugel ya:

Takoyaki
Okonomiyak
Kakigori

Bagi yang ingin tahu apa itu takoyaki, onomiyaki, dan kakigori, tanya langsung sama Prof. Gugel ya! :p | Dan bagi yang ingin mencicipi makanan Jepang murah meriah dan aman di lidah, silahkan mampir ke Hana Cafe. Insha Allah, gak akan kecewa kok dengan rasa-rasa makanan yang disediakan di sana *promosi*. Buktinya ini, Ibu hamil yang menderita morning sickness kelas berat aja sanggup menghabiskannya, apalagi kalian yang sehat-walafiat kan? *elus-elus perut yang kekenyangan* #eh 

Baiklah.. Thanks to mbak Erlita (penulis Takoyaki Soulmate) yang karena novelnya, nafsu makan saya kembali ada, walaupun itu hanya nafsu makan si takoyaki dan okonomiyaki. Hehehe. Arigatou ne! Wassalam..


6/06/2013 08:40:00 AM Desi YuLiana
Sekitar seminggu yang lalu, saya menghampiri toko buku langganan; Pustaka Paramitha yang terletak di Kp. Mulia, Banda Aceh. Saya langganan di sana karena menurut saya, toko buku terlengkap di kota Banda Aceh sejauh ini yaa Pustaka Paramitha. Koleksi bukunya lengkap dan selalu sukses bikin hati kleper-kleper; pengen dibawa pulang semuanya (deu, berburu harta karun).

Dari hasil perburuan seminggu yang lalu itu, saya membawa pulang sebuah novel kecil, dengan cover yang imut dan lucu (chibi chibi chibi #eh), judulnya adalaaaaaaah.. 'Takoyaki Soulmate'. Pasti pada tahu kan kenapa buku itu yang berhasil menarik hati saya? Ya. Bener! Karena itu novel je-Jepang-an. Dan you know lah, saya memang koleksi buku-buku atau novel-novel bertema Jepang, tapi tentu tidak semuanya, harus diseleksi dulu kan ya? Toh, sekarang banyak buku je-Jepang-an yang inti ceritanya romantisme cinta picisan, malas bacanya beh! (Lho, kok jadi curhat?).


Takoyaki Soulmate ini bercerita tentang sosok Maya, yang bekerja paruh waktu di kafe Jepang; 'Kaguya's Corner'. Namanya kafe Jepang, ya pastilah makanan yang disediakan di sana makanan-makanan Jepang; takoyaki, okonomiyaki, dorayaki, taiyaki, dan sebagainya. Nah, inti dari cerita hari ini adalah.. saya yang sedang kehilangan nafsu makan (sekalipun itu makanan favorit) akibat sedang menderita 'morning sickness' tri semester pertama ini mendadak kepikiran, kepikiran, dan kepikiran takoyaki >__< Saya mau takoyaki! Entah ini yang disebut ngidam, entah hanya keinginan perut yang sudah kangen sama bola-bola kecil itu. Pokoknya, saya mau takoyaki!

Alhasil. Mulailah segala rengekan pada misua; mau makanan Jepang, boleh makan di sana atau dibawa pulang. Tapi sayang, misua sedang ada kerjaan, dan nafsu makan si bola-bola itu harus tertunda sementara. Gak kehabisan akal, saya coba merayu si penggemar okonomiyaki: Risnasari dan mengajaknya pergi ke Hana Cafe (kantin Jepang sederhana yang letaknya di depan Lapangan Tugu Unsyiah). Tapi sayang, kawan yang satu itu pun di hari libur ini ada kerjaan mendadak *depresi*. 

Alhamdulillah.. sore ini Allah mengabulkan doa saya untuk bertemu dengan takoyaki (lebay!). Misua yang sedang bekerja akhirnya luluh diajak makan makanan Jepang. Dan Hana Cafe, we are coming!

Hana Cafe, sebenarnya sudah dari beberapa bulan lalu saya tahu ada kafe makanan Jepang di kawasan Darussalam. Pemiliknya orang Jepang asli. Sudah dari beberapa bulan lalu pula saya ingin berkunjung ke sana, tapi karena satu dan lain hal, kesempatan itu belum ada. 

Nah, tiba di Hana Cafe, saya dan misua disambut dengan suasana kafe/kantin sederhana yang dibuka di halaman rumah. Konsepnya manis, hanya dengan atap rumbia, kursi-kursi plastik sederhana (tersedia juga kursi lesehan), dan beberapa pohon-pohon kecil yang dijadikan teman menyantap makanan.

Menu yang disediakan pun sangat sederhana, dengan harga yang sangat terjangkau (5000 - 10000 rupiah). Menu khas Jepang yang disediakan di sana ada empat macam: Takoyaki, Okonomiyaki, Sushi, dan Kakigori (es serut super segar). Sedangkan menu pelengkapnya hanya pada varian minuman. Minuman-minuman khas Aceh dan Indonesia, misalnya teh manis, teh jeruk nipis, teh susu, milo, dan sebagainya juga disediakan di sana. Jadi gak usah takut jika gak ada makanan atau minuman yang pas di lidah. 

Mengajak misua, ada rasa khawatir juga sebenarnya. Bakalan suka gak ya dengan makanan Jepang yang bagi sebagian orang terasa aneh dan tidak cocok di lidah? Tapi Alhamdulillah, ternyata eh ternyata misua suka dan menilai enak untuk takoyaki dan okonomiyaki yang kami pesan tadi (legaaaa!).  Dan Alhamdulillah lagi, saya yang biasanya selalu tidak sanggup menghabiskan makanan ini tadi mendadak berubah! Seporsi takoyaki, plus sepotong okonomiyaki--yang saya comot dari punya misua--sanggup saya habiskan. Horeeee \(^^)/  Mungkin karena ada bantuan dari es serut Kakigori kali ya? Jadi mulut dan perut berkurang mualnya karena kesegaran dari si es serut tadi. 

Nah, ini foto takoyaki, okonomiyaki, dan kakigori official Hana Cafe Banda Aceh yang saya ambil dari blogger Banda Aceh yang juga pernah ke sana, bukan hasil comot dari Prof. Gugel ya:

Takoyaki
Okonomiyak
Kakigori

Bagi yang ingin tahu apa itu takoyaki, onomiyaki, dan kakigori, tanya langsung sama Prof. Gugel ya! :p | Dan bagi yang ingin mencicipi makanan Jepang murah meriah dan aman di lidah, silahkan mampir ke Hana Cafe. Insha Allah, gak akan kecewa kok dengan rasa-rasa makanan yang disediakan di sana *promosi*. Buktinya ini, Ibu hamil yang menderita morning sickness kelas berat aja sanggup menghabiskannya, apalagi kalian yang sehat-walafiat kan? *elus-elus perut yang kekenyangan* #eh 

Baiklah.. Thanks to mbak Erlita (penulis Takoyaki Soulmate) yang karena novelnya, nafsu makan saya kembali ada, walaupun itu hanya nafsu makan si takoyaki dan okonomiyaki. Hehehe. Arigatou ne! Wassalam..


Monday, June 3, 2013

Beberapa minggu terakhir, ada seseorang yang mengatakan saya termasuk pribadi yang punya gaya hidup hedonis (JLEB!), dan pernyataan itu semakin sering saya dengar beberapa hari terakhir ini. Ah, hedonis? Saya dikatakan hedonis? Saya tidak tahu haruskah atau layakkah jika saya tersinggung atau sakit hati dengan pernyataan seseorang tersebut. 


Seperti yang kita tahu, hedonis itu kesannya negatif. Apa itu hedonis? Mari kita tanya pada Profesor sejuta umat di dunia: Google. Dari hasil pencarian dengan bantuan Prof. Google, saya diantarkan pada halaman wikipedia, di sana dijelaskan bahwa hedonis itu adalah:
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Dan saya juga tiba pada halaman Yahoo Answer, kebetulan ada yang bertanya di sana apa itu hedonis, dan kesimpulan jawabannya:
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."
Astaghfirullah.. mengerikan.

Dan pertanyaannya sekarang, apa iya selama ini saya telah menganut paham hedonisme? Apa iya selama ini saya mengikuti gaya hidup kaum hedon itu? Jujur, saya tidak tahu. Bisa jadi iya, bisa jadi kadang-kadang iya, bisa jadi juga tidak. Walaupun setelah membaca makna hedonis dari beberapa jawaban di atas, saya punya kesimpulan bahwa; iya, terkadang saya juga termasuk pelaku hedonisme, Astaghfirullah. *Mari berubah!*

Jujur, awalnya saya sangat jarang mendengar kata hedonis ini, namun sejak seseorang itu menjudge saya hedonis, tidak berselang beberapa lama kemudian, kata itu jadi semakin sering saya dengar, terus-menerus; tentunya dari mulut orang yang sama. Dia.

Salah satu alasan saya dibilang hedonis adalah karena kegemaran saya dan sahabat-sahabat saya akan 'karaokean'. Ya. Sejak mengenal f*nland, saya dan sahabat dekat lumayan sering bertandang ke sana; demi menumpahkan bakat yang terpendam dan tak bisa dipublikasikan; menyanyi. Dan setelahnya, TKP untuk berkaraoke mulai berpindah ke lantai dasar Hermes Mall; f*nzone (karena ruang yang lebih luas dan koin yang lebih sedikit, tentunya ini sedikit lebih hemat) dan yang terakhir sekarang adalah di Harm*ni Karaoke (di sini pemakaian ruangnya bukan berdasarkan koin, tapi hitungan jam, tentunya jadi lebih puas memilah dan memilih lagu, walaupun biayanya jadi sedikit lebih mahal dari yang harus dikeluarkan saat di f*nzone). 

Alasan saya dan sahabat senang berkaraoke cukup banyak; karena memang senang nyanyi (walaupun suara dan kemampuan pas-pasan) namun tidak bisa bernyanyi di depan umum atau sekedar karaokean di rumah karena akan mengganggu tetangga dengan suara yang tak seberapa mana, karena karaokean juga terkadang menjadi satu alternatif saat down atau saat hidup terasa membosankan atau saat sedang 'mumang' dengan berbagai masalah yang ada dan sebagainya (mungkin alasan ini memang yang kurang baik, karena harusnya.. ah, kalian tahulah apa), dan karena karaokean juga menjadi satu cara untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama sahabat; melakukan hobi/hal yang sama-sama disenangi bersama-sama, bukankah itu menyenangkan? Atau salah? Tolong jelaskan pada saya..

Sampai sekarang saya masih ragu, apa iya kebiasaan dan hobi karaokean saya itu termasuk gaya hidup hedonis?

Seseorang itu juga pernah mengatakan kebiasaan karaokean itu tidak bagus karena karaoke memang terkesan negatif di telinganya. Oke. Ini saya paham, kalau di luar Banda Aceh, tempat-tempat karaoke memang terkadang disalahgunakan, atau bagaimana bagaimana, tidak baiklah pokoknya. Tapi, menurut saya tempat karaoke yang ada di Banda Aceh tidaklah se'jahat' seperti yang di luar sana. Teman-teman yang di Banda pasti tahu bagaimana kondisi tempat karaoke itu; box kecil (berkaca/tidak tertutup sempurna) yang hanya memuat maksimal 5 orang. Sesimpel dan sesederhana itu. Tempat karaoke di sini mah bisa dibilang tempat karaoke abal-abal; KW4 gitu? Hehe


Lupakan karaoke! Kembali ke topik; hedonis dan seseorang itu. 

Seseorang itu juga bahkan pernah mengomentari gaya hidup keluarga saya; mulai dari Ayah, Bunda, sampai yang terakhir yang saya dengar hari ini tentang kakak saya. Ya. Keluarga saya juga pernah dikatakannya bergaya hedonis, karena 'gaya' hidup keluarga saya berbeda dengan gaya hidup keluarganya yang sangat sederhana dan tradisional.

Sebagai contoh yang paling menohok dan tidak dapat saya terima dengan akal sehat, hari ini dia menjudge kakak saya hedonis, karena; kakak saya membeli tas kecil khusus untuk menyimpan botol susu ASI untuk anaknya; cooler bag. Dan karena itu dia mengatakan kakak saya hedonis. Padahal cooler bag itu jelas ada manfaatnya. JELAS! Kakak saya baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki (usia 2 bulan) dan berprofesi sebagai dokter yang saat ini masih harus menjalani masa internship di luar kota. Dalam kondisi anak akan dititipkan pada orang lain, cooler bag dan semacamnya tentu sangat diperlukan; jelas, untuk menyimpan ASI yang dibutuhkan si anak saat kakak saya bertugas di rumah sakit. Salahkah? *heran*.




Alasan seseorang berkata demikian itu simpel; karena keluarganya dulu tidak ada memakai dan menggunakan perlengkapan-perlengkapan demikian, dan anak-anaknya sampai sekarang sehat-sehat atau baik-baik saja. *masuk kulkas*. Bukankah kebutuhan manusia tiap zaman itu berbeda-beda? Jangankan tiap zaman, di zaman yang sama pun, kebutuhan manusia berbeda-beda; tergantung kondisi masing-masingnya bukan? Tolonglah jangan disamakan --"

Jujur. Saat dia mengomentari saya hedonis, mungkin saya masih bisa menerima. Terserahlah dia mau komentar apa. Tapi, saat kakak atau keluarga saya juga ikut dikomentari sedemikian rupa, saya tersinggung lho saudara-saudara, apalagi hanya karena hal simpel macam membeli cooler bag demikian. Apa yang salah sebenarnya? Toh saya gak pernah mengomentari keluarganya macam-macam. 

Bukankah tiap keluarga itu berbeda? Kebiasaan, gaya hidup, perlengkapan, perabotan, bahkan cara mengasuh anak, berbeda-beda kan? Tugas kita sebagai individu yang merdeka ya menerima setiap perbedaan. Jika ada hal baik; ambil, amati, tiru, modifikasi. Jika ada hal yang tidak baik dari sana, jadikan itu pelajaran dan pengingat agar tidak melakukan hal yang sama. 

Yaah, saya gak tahu ini semua apa maksudnya. Tapi, jika memang niat seseorang itu baik, demi mengingatkan saudaranya, saya harap dia bisa menyampaikan dengan cara yang lebih baik, bukan sekedar komentar dan menjudge sembarangan. Ada banyak cara menyampaikan, ada banyak cara berkomentar, ada banyak cara mengingatkan atau menasihati. Pilihlah yang paling bijak dari yang kita tahu. Sekian.

Demikian curhatan (yang sebenarnya entah membahas hedonis atau sekedar mencurahkan kekecewaan pada seseorang) ini saya ketik (awalnya) di layar touchscreen hingga jempol pegal-pegal dan saya edit (akhirnya) di papan keyboard laptop (dengan emosi yang sedikit berkurang sebab musik di telinga dan sedang HUJAN!), semoga dapat dimaklumi dan bisa jadi pelajaran bagi saya pribadi dan kita bersama.

Ingat: 'Mulutmu harimaumu!'


6/03/2013 07:59:00 AM Desi YuLiana
Beberapa minggu terakhir, ada seseorang yang mengatakan saya termasuk pribadi yang punya gaya hidup hedonis (JLEB!), dan pernyataan itu semakin sering saya dengar beberapa hari terakhir ini. Ah, hedonis? Saya dikatakan hedonis? Saya tidak tahu haruskah atau layakkah jika saya tersinggung atau sakit hati dengan pernyataan seseorang tersebut. 


Seperti yang kita tahu, hedonis itu kesannya negatif. Apa itu hedonis? Mari kita tanya pada Profesor sejuta umat di dunia: Google. Dari hasil pencarian dengan bantuan Prof. Google, saya diantarkan pada halaman wikipedia, di sana dijelaskan bahwa hedonis itu adalah:
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Dan saya juga tiba pada halaman Yahoo Answer, kebetulan ada yang bertanya di sana apa itu hedonis, dan kesimpulan jawabannya:
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati."
Astaghfirullah.. mengerikan.

Dan pertanyaannya sekarang, apa iya selama ini saya telah menganut paham hedonisme? Apa iya selama ini saya mengikuti gaya hidup kaum hedon itu? Jujur, saya tidak tahu. Bisa jadi iya, bisa jadi kadang-kadang iya, bisa jadi juga tidak. Walaupun setelah membaca makna hedonis dari beberapa jawaban di atas, saya punya kesimpulan bahwa; iya, terkadang saya juga termasuk pelaku hedonisme, Astaghfirullah. *Mari berubah!*

Jujur, awalnya saya sangat jarang mendengar kata hedonis ini, namun sejak seseorang itu menjudge saya hedonis, tidak berselang beberapa lama kemudian, kata itu jadi semakin sering saya dengar, terus-menerus; tentunya dari mulut orang yang sama. Dia.

Salah satu alasan saya dibilang hedonis adalah karena kegemaran saya dan sahabat-sahabat saya akan 'karaokean'. Ya. Sejak mengenal f*nland, saya dan sahabat dekat lumayan sering bertandang ke sana; demi menumpahkan bakat yang terpendam dan tak bisa dipublikasikan; menyanyi. Dan setelahnya, TKP untuk berkaraoke mulai berpindah ke lantai dasar Hermes Mall; f*nzone (karena ruang yang lebih luas dan koin yang lebih sedikit, tentunya ini sedikit lebih hemat) dan yang terakhir sekarang adalah di Harm*ni Karaoke (di sini pemakaian ruangnya bukan berdasarkan koin, tapi hitungan jam, tentunya jadi lebih puas memilah dan memilih lagu, walaupun biayanya jadi sedikit lebih mahal dari yang harus dikeluarkan saat di f*nzone). 

Alasan saya dan sahabat senang berkaraoke cukup banyak; karena memang senang nyanyi (walaupun suara dan kemampuan pas-pasan) namun tidak bisa bernyanyi di depan umum atau sekedar karaokean di rumah karena akan mengganggu tetangga dengan suara yang tak seberapa mana, karena karaokean juga terkadang menjadi satu alternatif saat down atau saat hidup terasa membosankan atau saat sedang 'mumang' dengan berbagai masalah yang ada dan sebagainya (mungkin alasan ini memang yang kurang baik, karena harusnya.. ah, kalian tahulah apa), dan karena karaokean juga menjadi satu cara untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama sahabat; melakukan hobi/hal yang sama-sama disenangi bersama-sama, bukankah itu menyenangkan? Atau salah? Tolong jelaskan pada saya..

Sampai sekarang saya masih ragu, apa iya kebiasaan dan hobi karaokean saya itu termasuk gaya hidup hedonis?

Seseorang itu juga pernah mengatakan kebiasaan karaokean itu tidak bagus karena karaoke memang terkesan negatif di telinganya. Oke. Ini saya paham, kalau di luar Banda Aceh, tempat-tempat karaoke memang terkadang disalahgunakan, atau bagaimana bagaimana, tidak baiklah pokoknya. Tapi, menurut saya tempat karaoke yang ada di Banda Aceh tidaklah se'jahat' seperti yang di luar sana. Teman-teman yang di Banda pasti tahu bagaimana kondisi tempat karaoke itu; box kecil (berkaca/tidak tertutup sempurna) yang hanya memuat maksimal 5 orang. Sesimpel dan sesederhana itu. Tempat karaoke di sini mah bisa dibilang tempat karaoke abal-abal; KW4 gitu? Hehe


Lupakan karaoke! Kembali ke topik; hedonis dan seseorang itu. 

Seseorang itu juga bahkan pernah mengomentari gaya hidup keluarga saya; mulai dari Ayah, Bunda, sampai yang terakhir yang saya dengar hari ini tentang kakak saya. Ya. Keluarga saya juga pernah dikatakannya bergaya hedonis, karena 'gaya' hidup keluarga saya berbeda dengan gaya hidup keluarganya yang sangat sederhana dan tradisional.

Sebagai contoh yang paling menohok dan tidak dapat saya terima dengan akal sehat, hari ini dia menjudge kakak saya hedonis, karena; kakak saya membeli tas kecil khusus untuk menyimpan botol susu ASI untuk anaknya; cooler bag. Dan karena itu dia mengatakan kakak saya hedonis. Padahal cooler bag itu jelas ada manfaatnya. JELAS! Kakak saya baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki (usia 2 bulan) dan berprofesi sebagai dokter yang saat ini masih harus menjalani masa internship di luar kota. Dalam kondisi anak akan dititipkan pada orang lain, cooler bag dan semacamnya tentu sangat diperlukan; jelas, untuk menyimpan ASI yang dibutuhkan si anak saat kakak saya bertugas di rumah sakit. Salahkah? *heran*.




Alasan seseorang berkata demikian itu simpel; karena keluarganya dulu tidak ada memakai dan menggunakan perlengkapan-perlengkapan demikian, dan anak-anaknya sampai sekarang sehat-sehat atau baik-baik saja. *masuk kulkas*. Bukankah kebutuhan manusia tiap zaman itu berbeda-beda? Jangankan tiap zaman, di zaman yang sama pun, kebutuhan manusia berbeda-beda; tergantung kondisi masing-masingnya bukan? Tolonglah jangan disamakan --"

Jujur. Saat dia mengomentari saya hedonis, mungkin saya masih bisa menerima. Terserahlah dia mau komentar apa. Tapi, saat kakak atau keluarga saya juga ikut dikomentari sedemikian rupa, saya tersinggung lho saudara-saudara, apalagi hanya karena hal simpel macam membeli cooler bag demikian. Apa yang salah sebenarnya? Toh saya gak pernah mengomentari keluarganya macam-macam. 

Bukankah tiap keluarga itu berbeda? Kebiasaan, gaya hidup, perlengkapan, perabotan, bahkan cara mengasuh anak, berbeda-beda kan? Tugas kita sebagai individu yang merdeka ya menerima setiap perbedaan. Jika ada hal baik; ambil, amati, tiru, modifikasi. Jika ada hal yang tidak baik dari sana, jadikan itu pelajaran dan pengingat agar tidak melakukan hal yang sama. 

Yaah, saya gak tahu ini semua apa maksudnya. Tapi, jika memang niat seseorang itu baik, demi mengingatkan saudaranya, saya harap dia bisa menyampaikan dengan cara yang lebih baik, bukan sekedar komentar dan menjudge sembarangan. Ada banyak cara menyampaikan, ada banyak cara berkomentar, ada banyak cara mengingatkan atau menasihati. Pilihlah yang paling bijak dari yang kita tahu. Sekian.

Demikian curhatan (yang sebenarnya entah membahas hedonis atau sekedar mencurahkan kekecewaan pada seseorang) ini saya ketik (awalnya) di layar touchscreen hingga jempol pegal-pegal dan saya edit (akhirnya) di papan keyboard laptop (dengan emosi yang sedikit berkurang sebab musik di telinga dan sedang HUJAN!), semoga dapat dimaklumi dan bisa jadi pelajaran bagi saya pribadi dan kita bersama.

Ingat: 'Mulutmu harimaumu!'